Comment

(originally posted on Facebook)

Melanjutkan racauan saya sebelumnya, belakangan ini saya mendapati video tanggapan terhadap tulisan Afi yang bertajuk «Warisan.» Video ini dipublikasikan oleh tiga pemudi muslimah lewat akun Youtube «SPUM» atau singkatan dari «Speak Up Your Mind.» Nama depan mereka masing-masing adalah Fatimah, Fitriyah dan Ainur, demi kepraktisan selanjutnya akan saya singkat FFA, yang bagi saya terdengar keren seperti NWA, sekaligus menyiratkan bahwa mereka sama-sama punya «attitude.»

Video berdurasi enam menit dua puluh empat detik ini menyampaikan counter opinion terhadap tulisan Afi dengan menjelaskan bahwa agama Islam sejatinya bukanlah warisan, didalamnya tercantum nukilan QS:88 dan QS:2, dilengkapi dengan pendapat mengenai «fenomena» Islam moderat, serta ajakan untuk «jangan lupa belajar,» yang tentu saja merupakan anjuran yang amat sangat baik. Agar tidak bersifat spoiler, serta mencegah saya menjadi penulis sinopsis amatir, silakan saksikan sendiri saja videonya.

Tujuan saya membahas video trio FFA ini bukan untuk mengajak berputar di mosh pit «benar atau salah,» melainkan untuk lebih mempopulerkan lagi kegiatan saling bertukar argumen, memanfaatkan hak sebagai warga negara yang memiliki kebebasan berekspresi.

Ekspresi Afi bersifat inklusif, apa yang ia tulis dapat dengan mudah dicerna oleh siapapun yang berstatus warga negara Indonesia. Ekspresi trio FFA, meski juga dapat dikonsumsi oleh jumlah khalayak yang sama, (saya rasa) belum dapat dianggap setara dalam hal kemudahan praktik di kehidupan sehari-hari.

Namun, terlepas dari betapa segmented-nya video ini (yang ditujukan untuk pemirsa muslim) serta absen-nya solusi untuk masalah (cederanya kerukunan beragama) Indonesia saat ini. Trio FFA menyampaikan buah pikiran mereka dengan sopan santun dan bijaksana, barangkali dihiasi sedikit lepas kendali pada bagian sentimen subtil terhadap Islam moderat dan istilah benang kusut. Akan tetapi, menjadi polisi moral akan membuat saya jalan di tempat, jadi saya akan tetap acungkan jempol untuk para dara manis ini. Apa yang trio FFA sampaikan sudah sangat sesuai dengan tajuk akun Youtube mereka, yakni «Speak Up Your Mind.»

Kini, izinkan saya kembali meminjam sedikit metafora hip hop. Sejak masa awalnya, kegiatan saling diss antar MC adalah hal yang jamak dan dianggap wajar. Ketika satu MC menulis lirik pemantik, MC lainnya membalas dengan cara serupa, masih dengan menggunakan lirik. Hingga suatu masa, hip hop (dalam hal ini di Amerika) terpecah menjadi dua kubu yakni East Coast dan West Coast. Perpecahan ini mencapai titik puncaknya ketika dua figur populer dari masing-masing kubu (Tupac Shakur dan Christopher Wallace) menjadi korban penembakan misterius yang terpisah. Kejadian ini berdampak introspektif dan semenjaknya pertarungan sengit keduanya mulai menyurut.

Moralnya adalah—maaf, belakangan saya hobi mengucapkan ini bak Sentilun sambil menggoyangkan kepala—sama seperti kegiatan saling diss-ing, kegiatan saling bertukar argumen adalah sah-sah saja dan bahkan sangat dianjurkan, seperti trio FFA yang «speak up their mind.» Perbedaan pendapat anggap wajar saja, jika tak setuju cukup beri tanggapan, ibarat para MC saling berbalas lirik. Tidaklah perlu bagi kita untuk meniru sejarah kelam perseteruan antara East Coast dan West Coast, yang melibatkan kekerasan fisik hingga menimbulkan korban. Tidaklah perlu bagi kita untuk meniru tabiat oknum-oknum yang meskipun menganut agama yang menganjurkan kedamaian namun tetap saja gemar «enforce their mind» lewat pengerahan massa dan tak jarang disertai kekerasan fisik. Seperti bait terakhir pada lirik hit single Afi, «kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir.» Sekian ndan, siap lapan nam. ✋👮

Comment

(originally posted on Facebook)

Setelah euforia 212, pilkada Jakarta, dan perburuan Rizieq, Afi adalah topik terhangat lini masa jejaring sosial yang menyita waktu dan sel otak pemirsanya. Debat antara penanggap tulisannya memang berdampak pada produktifitas para hamba kapital, yang tak jarang harus memotong seiris kue nine to five untuk dapat mencapai kondisi deep reading.

Namun, justru itulah satu manfaat polemik pemantik kritik tandingan ini, yakni semakin banyak orang akhirnya membaca dengan seksama, bukan sekedar skimming lalu berceloteh one liner soal siapa benar dan salah.

Satu hal lagi yang menarik adalah, tak seperti euforia-euforia sebelumnya yang berlatar belakang kegiatan fisik di kehidupan nyata (utamanya di Jakarta), tulisan Afi tak memiliki keterangan tempat yang spesifik selain kepulauan tropis luas yang berjuluk tanah air.

Moralnya adalah, ini berarti siapapun bisa mengikuti jejak Afi, berjuang demi perubahan yang ingin dilihat, kapanpun dan dimanapun, tanpa nyeri otot kaki, tanpa parau pita suara, tanpa api dan karangan bunga (atau kombinasinya).

Bahwa perjuangan hari ini idealnya cukup dengan dua puluh enam huruf latin, dua puluh sembilan huruf hijaiyah opsional, serta sejumlah tanda kutip dan numeral. Karena parang hanya bisa menebas sejauh jangkauan tangan, namun paragraf bisa menyebar kemanapun tulisan bisa dibaca.

Meminjam penggambaran perang intelektual pada sebuah hip hop battle, lewat lirik grup lokal Homicide yang berbunyi «dua mikrofon, kau dan aku, tentukan siapa yang lebih dulu tersungkur,» rasanya hari ini ibu pertiwi butuh lebih banyak lagi MC yang seperti Afi. Mic drop, eh, keyboard drop.

Comment

(originally posted on Facebook)

Saya selalu menganggap pemaduan agama dengan profesi adalah hal buruk (apalagi dengan politik). Saat saya mengetahui keberadaan sebuah perkumpulan profesi (desainer grafis) yang berbasis pada suatu agama spesifik, saya langsung seperti: «baiklah, saya ini bukan untuk saya.»

Bukan karena saya menentangnya, tapi karena saya merasa saya tidak akan (atau belum) pantas untuk bergabung. Agama adalah hal yang sakral. Agama adalah hal yang suci. Agama berada di tingkat yang lebih tinggi diatas horizon bernama etika.

Meski sudah mulai mengupayakannya, terus terang hingga saat ini saya masih belum lepas dari dosa-dosa pelanggaran etika, semisal penggunaan piranti lunak ilegal, penggunaan karya Creative Commons tanpa kredit, dan penggunaan typeface pay-what-you-want (dibeli dengan $0) untuk kepentingan komersial.

Kegiatan mengambil hak orang lain (royalti lisensi) tentu sangat dilarang agama serta mencerminkan akhlak yang buruk rupa, membuat saya masih seperti orang Islam makan babi, atau orang Hindu makan sapi.

Dengan pikulan beban dosa saya yang masih cukup signifikan ini, bergabung dengan perkumpulan profesi berbasis agama (yang seyogyanya suci) adalah sebuah langkah yang hipokrit.

Kecuali jika mereka memiliki klausul penebusan dosa.

 

Comment

Variable Fonts For Responsive Design.

I am really sure that ‹glass floor› could be the next web design buzzword, and that Sitka is the new Georgia. But, man, resurrecting MM-like effect and creating a new variable font format is definitely a long, hard and winding road. Look at the current industry-standard OpenType format, even years after its introduction, still struggling hard to get its OpenType Features supported everywhere. I also still doubt that Apple, Adobe and Microsoft could get together again like the good ol' days.

Comment

Brackets Extenshuns

Belakangan ini saya mulai sering menggunakan Brackets, terutama karena lebih ringan dari code editor Adobe yang lainnya. Namun, untuk menambahkan fitur-fitur yang belum ada pada instalasi default-nya, saya memasang beberapa ekstensi pihak-ketiga berikut ini.

Beautify
Code Folding
Emmet
Markdown Preview

Jika ditilik dari namanya, masing-masing fungsinya cukup self-explanatory bukan? Saya masih dalam masa transisi jadi belum bisa berbagi cerita banyak soal Brackets, namun sementara ini bisa saya pastikan saya masih cenderung menggunakan Brackets ketimbang Atom. Persepsi naif nan sederhana saya adalah karena Brackets adalah produk buatan Adobe, barangkali nanti sedikit-banyak akan memiliki fitur yang mirip dengan ‹saudara tua›-nya, meskipun tentunya lebih terbatas.

Comment

Rupiah

Rupee India mendapatkan simbol resminya pada 15 Juli 2010. Lira Turki mendapatkan simbol resminya pada 1 Maret 2012Ruble Rusia mendapatkan simbol resminya pada 11 Desember 2013. Sedangkan Rupiah tak pernah beranjak kemanapun sejak pertama kali saya membaca utas Typophile terbitan 2 November 2005 ini. Mengetahui kenyataan memilukan ini, tentunya jiwa chauvinist saya terusik, rasa iri dan dengki tak terperi selalu muncul tiap kali lagu ‹Sakitnya Tuh Disini› terdengar di televisi.

Comment

Triangulashun

Semalam Rizal Bagus Ramadhan a.k.a. @rizalbr menanyakan bagaimana saya membuat gambar ter-triangulasi di poster ini. Well, ada sejumlah aplikasi pembantu baik luring maupun daring yang sempat saya temukan, yakni:

dmesh.thedofl.com
☞ snorpey.github.io/triangulation
jsdo.it/akm2/xoYx
☛ labs.vieron.net/delaunay-triangulations
somestuff.ru/I
conceptfarm.ca/2013/portfolio/image-triangulator
joanielemercier.com/triangulation
triangulation.jgate.de

Namun, yang saya gunakan saat mendesain poster waktu itu adalah aplikasi daring bung Javier Sánchez-Marín a.k.a. @vieron (☛).

Ngomong-ngomong, saya selalu teringat akan nama Rizal setiap kali saya menulis tag <br>. Oh boy, I hope that doesn't sound gay.

Comment

MV MMXIV

Seharian ini MV berada dimana-mana, seharian terdengar di perangkat suara telinga, seharian terbaca di halaman-halaman berita. MV yang pertama adalah Morgue Vanguard, yang hari ini baru saya unduh lagu perdananya bersama Sarkasz sebagai Bars Of Death. MV yang kedua adalah Massimo Vignelli, yang baru saya tahu meninggal dini hari tadi saat istri saya menanyakan siapa gerangan beliau sembari membaca berita dukanya di dinding akun Facebook saya.