Comment

(originally posted on Facebook)

Saya selalu menganggap pemaduan agama dengan profesi adalah hal buruk (apalagi dengan politik). Saat saya mengetahui keberadaan sebuah perkumpulan profesi (desainer grafis) yang berbasis pada suatu agama spesifik, saya langsung seperti: «baiklah, saya ini bukan untuk saya.»

Bukan karena saya menentangnya, tapi karena saya merasa saya tidak akan (atau belum) pantas untuk bergabung. Agama adalah hal yang sakral. Agama adalah hal yang suci. Agama berada di tingkat yang lebih tinggi diatas horizon bernama etika.

Meski sudah mulai mengupayakannya, terus terang hingga saat ini saya masih belum lepas dari dosa-dosa pelanggaran etika, semisal penggunaan piranti lunak ilegal, penggunaan karya Creative Commons tanpa kredit, dan penggunaan typeface pay-what-you-want (dibeli dengan $0) untuk kepentingan komersial.

Kegiatan mengambil hak orang lain (royalti lisensi) tentu sangat dilarang agama serta mencerminkan akhlak yang buruk rupa, membuat saya masih seperti orang Islam makan babi, atau orang Hindu makan sapi.

Dengan pikulan beban dosa saya yang masih cukup signifikan ini, bergabung dengan perkumpulan profesi berbasis agama (yang seyogyanya suci) adalah sebuah langkah yang hipokrit.

Kecuali jika mereka memiliki klausul penebusan dosa.

 

Text

… loading Disqus comments